Pengertian Empati
Empati
adalah kemampuan untuk merasakan keadaan Perasaan orang lain, dari hati paling dalam merasa simpatik dan mencoba membantu menyelesaikan masalah. Seperti teman kita sedang
kesusahan dan kita juga merasakan kesusahan dan ikut membatu kesusahan
tersebut.
Contoh Cerita Empati
Sebutir Nasi dan Nasi
Basi
Ketika kita berhenti makan, seringkah
kita menyisakan nasi di piring? Jangankan banyak. Sebutirpun saya sarankan
sebaiknya kita habiskan. Usahakan jangan sampai ada sisa sebutir pun di piring.
Jadikan piring mengkilat dan licin.Mungkin ada yang bertanya, buat apa
menghabiskan sebutir nasi? kan tidak kenyang juga? Sederhana saja
saya akan menjawab. Pertama, Persoalannya bukan mengenyangkan atau tidak.
Sebutir nasi pun adalah rizki Tuhan. Ia sampai di piring kita melalui proses
panjang. Melibatkan banyak orang sejak disemai, ditanam, dipupuk, dipanen,
digiling, dimasak hingga ahirnya sampai ke piring kita. Tidak mudah bukan, nasi
sampai di piring kita?
Itu juga alasannya, kenapa orang tua di
kampung, banyak ‘menjilati’ tangannya yang penuh butiran nasi ketika selesai
makan. Mungkin sementara orang malu atau jijik melakukannya. Tetapi orang
kampung melakukannya sebagai wujud dari sikap mereka mensyukuri rizki Tuhan.
Apalagi mereka petani yang tahu persis bagaimana sulitnya menghasilkan butiran
nasi.
Kedua, yang lebih penting dengan
menghabiskan sebutir nasi hakikatnya kita belajar berempati. Di saat warga
miskin sulit makan nasi, kita tentu tidak etis menyiakan-nyiakannya. Secara
tidak langsung, menyisakan nasi di piring, sama saja kita melakukan pelecehan
terhadap kehormatan warga miskin. Meski kita tidak bisa membantunya,
setidaknya kita belajar menajamkan kepekaan nurani dengan berempati
kepadanya.Terus terang makna sebutir nasi mulai mengganggu pikiran saya selesai
menerima telpon seorang teman kemarin. Secara empatik, teman saya bercerita
tentang warga miskin desa yang ditemuinya. Sebuah cerita yang menjadi penguat
dari tulisan bahwa 2/3 penduduk miskin ada di pedesaan.Angka Kemiskinan
Turun Tapi Lambat Sekali ).
Ceritanya begini. Seorang ibu muda, 22
tahun, terpaksa membesarkan anak tunggalnya sendiri karena suaminya bekerja
sebagai kuli bangunan di Jakarta. Di samping anak, ia juga menanggung hidup
ayahnya yang sakit-sakitan. Ibu muda ini bekerja banting tulang, karena
suaminya tidak bisa mengirim uang. Sampai detik ini, hasil bekerja suami hanya
cukup untuk bertahan hidup di Jakarta.Suatu hari teman saya ketemu sama ibu
ini. Setelah basa-basi, di akhir pembicaraan ibu muda ini menitip pesan sama
teman saya, “ jika mas punya nasi basi, jangan dibuang. mas tak perlu malu,
kasihkan saja sama saya”.
Tentu teman saya tertegun. Tak percaya.
Bagaimana mungkin nasi basi akan dimakan? Ketika menelpon kepada saya, ia
bilang, “Rik …begitu berharganya nasi. Sejak detik itu saya berjanji, ketika
makan tak akan membiarkan sebutir pun nasi tersisa di piring saya”.Saya bahagia
karena teman saya suka berbagi. Bersama istrinya ia sering mengantar nasi
lengkap dengan lauknya kerumah ibu muda miskin itu. Tentu yang diantar bukan
nasi basi.
Cerita Empati terhadap Guru
Kisah Mengajar Anak Sikap
Hormat
Untuk menanam perasaan
hormat, kami mengajar anak kami untuk bersalam sambil menundukkan kepala kepada
orang tua. Semua di dalam keluarga suami saya diajar sebegitu. Selepas kahwin,
saya terkejut bila ipar duai saya bersalaman sambil menundukkan kepala kepada
saya (sebab saya menantu paling baru dan paling muda tapi saya kahwin dengan
abang yang paling sulung). Jadi bila anak sudah boleh diajar bersalam, kami
ajarnya benda yang sama.
Caranya sangat senang:
Saya dan suami akan bersalam dulu, baru anak salam. Konsep yang kami terapkan;
'monkey see, monkey do.' Dalam masa sekejap saja, dia belajar untuk tangkap
perbuatan ini. Kami sungguh seronok!Baru-baru ini, dia enggan bersalam nenek
dan datuknya. Malah juga menengking dan marah-marah. Hilang semua perangai
comel yang suka bersalam, hormat orang tua ini. Umurnya? 2 tahun. Pening kepala
saya dan suami. Kami tidak pernah mengajarnya berkelakuan begini. Malah, kami
tidak pernah menunjukkan perangai begini kepada orang tua kami. Mana sikapnya?Bila berbincang dengan suami,
kami dapati, dia mula banyak bergaul dengan salah seorang anak buah saya yang
umurnya agak besar.
Cara didikan saya dan
cara didikan ibubapa budak itu berbeza. Anaknya memang tidak diajar bersalam,
malah beberapa kali saya melihat dia memarahi ibubapanya tanpa ditegur. Anak
saya pula melihat perbuatan itu dan secara tidak sedar, dia meniru perbuatan
yang kurang baik itu. 'Monkey see, monkey do.'Pening kepala saya. Takkan nak tegur
budak itu? Dia pun kecil lagi. Nak ditegur ibubapanya, kalau mereka tak rasa
perbuatan anak mereka tak salah, kita nak buat macam mana? Lagipun ahli
keluarga sendiri. Dia dulu ada anak dari kita, kalau tegur nanti takut bergaduh
pula. Tapi kami tahu, selagi anak kami bergaul dengan budak itu, lagi banyak
lah perangai yang kami tak suka akan melekat pada anak kami.Jadi, kami
berbincang dan mengambil keputusan untuk menjauhkan diri dari berjumpa dengan
keluarga itu buat sementara waktu. Kami detoxkan semua perangai yang kurang
baik itu dari sistem anak kami.
Setiap kali dia minta
apa-apa, dengan nada lembut, saya akan tanya, 'minta macam mana?' dan
mengajarnya untuk meminta begini:'Mama/Daddy, Miea nak makan nasi/tengok
tv/main basikal etc, boleh tak?' dan minta dia ikut dengan nada yang
sama.Mula-mula dia tak mahu. Kemudian saya peluk dan cium dan katakan bahawa
dia budak baik dan ulangi cara permintaan yang saya ajarkan.
Sekarang, setiap kali dia
minta apa-apa, secara automatik dia akan minta dengan lembut, diikuti dengan
ucapan terima kasih bila dia dapat apa yang diminta.
Kami juga ajarnya untuk
bersalam dengan kami semula dengan cara main game. Bila dia datang dari dapur
ke ruang tamu, Daddynya akan ajak dia bersalam. Setiap hari dalam seminggu kami
main game ini.Alhamdulillah, hari ini bila dia berjumpa dengan nenek dan
atuknya, dengan segera dia pergi bersalam dan tunduk kepalanya. Tiada lagi
sikap tidak menghormati orang tua dan suasana di rumah mertua saya yang penuh
dengan ahli keluarga ceria semula bila dia bermain tanpa marah-marah. Kami
sebagai ibu bapa lega lembali.
Cerita Empati terhadap orang tua
Adalah Anis seorang anak
yang sangat berbakti kepada orang tuanya. Dahulu kala ketika ia masih duduk
dibangku sekolah dasar, anis sering sekali membantu kedua orang tuanya, bahkan
ia mau berjualan es teh manis dan koran di kereta untuk bisa menutupi kebutuhan
sekolahnya. Anis sangat penurut dan mau melakukan semua kebajikan. Ia tak lupa
mendirikan sholat 5 waktu sehari semalam. Anis merupakan figur anak yang sabar,
ia bertekad suatu waktu ia bisa memberangkatkan kedua orang tuanya pergi haji
ke tanah suci.
Sejak duduk di bangku
SD, Anis merupakan anak laki-laki yang tidak bisa tinggal diam, ia selalu
membantu kedua orang tuanya dan saudara-saudaranya. Ia juga memiliki cita-cita
untuk bisa memiliki sebuah warung kelontong kelak ia sudah dewasa nanti.
Ia memang anak yang sangat pandai namun karena keterbatasan keuangan orang tuanya, ia
hanya bisa lulus sampai bangku sekolah menengah tingkat atas, namun ia sadar
itu memang kehendak Tuhan dan ia pun menyadari akan keterbatasan orang tuanya,
akhirnya iapun berusaha sekuat tenang untuk bisa membahagiakan orang tuanya.
Sampai pada suatu
ketika, ia berhasil meraih sebuah posisi yang sangat bagus disebuah perusahaan,
ia pun tidak mau menjadi orang yang sombong, sebab ia pun tahu keberhasilannya
yang sudah ia peroleh adalah sebagian besar karena doa dari kedua orang tuanya,
dan pada akhirnya iapun bisa memberangkatkan haji kedua orang tuanya dan
merasakan sangat bersyukur karena ia bisa menjadi anak yang berbakti kepada
orang tuanya.
Hikmah dari cerita anak
islami singkat ini adalah janganlah kau sia-siakan orang tua, jika saat ini
mereka masih hidup, pelihara, jaga dan rawatlah mereka, sebab merekalah yang merawat
kita semenjak kita kecil.
1 komentar so far
Yang Cerita Empati Terhadapa Guru
Tokoh Utamanya siapa
Tokoh Pembantunya siapa
#JawabYaMin
EmoticonEmoticon