KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) menilai ada 26 poin Revisi UU KPK yang dapat melemahkan KPK revisi UUD KPK
yang kontroversi tersebut mengurangi sejumlah
kewenangan yang dahulu dimiliki KPK berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang
KPK dalam Kewenangan pokok dalam melaksanakan tugas selama ini
Sejumlah poin diantaranya
adalah
- keberadaan Dewan Pengawas KPK,
- dicabutnya sejumlah kewenangam KPK terkait penyidikan dan penuntutan,
- serta sejumlah prosedur yang dianggap merumitkan proses penindakan.
Selain point tersebut KPK juga mendapati ketidaksingkronan
antar pasal, hingga menimbulkan tafsir yang beragam sehingga menyulitkan KPK
dalam penanganan perkara korupsi ke depan.
KPK mengusulkan
sejak awal,
jika proses penyusunan sebuah UU lebih terbuka, melibatkan publik, mendengar
masukan instansi terkait seperti KPK dan tidak terburu-buru, maka beberapa
resiko persoalan hukum ini bisa diminimalisir,
Berikut ini Revisi UU KPK yang
Kontroversi :
1.
Pelemahan
Independensi KPK
KPK diletakkan sebagai lembaga
negara di rumpun eksekutif;
Rumusan UU hanya mengambil sebagian
dari Putusan MK, namun tidak terbaca posisi KPK sebagai badan lain yang terkait
kekuasaan kehakiman dan lembaga yang bersifat constitutional important.
Pegawai KPK merupakan ASN, sehingga
ada resiko independensi terhadap pengangkatan, pergeseran dan mutasi pegawai
saat menjalankan tugasnya;
2.
Bagian yang mengatur bahwa Pimpinan
adalah penanggungjawab tertinggi dihapus;
3.
Dewan Pengawas lebih berkuasa
daripada Pimpinan KPK, namun syarat menjadi Pimpinan KPK lebih berat dibanding
Dewan Pengawas, misal: berijazah sarjana hukum atau sarjana lain yang memiliki
keahlian dan pengalaman paling sedikit 15 tahun dalam bidang hukum, ekonomi,
keuangan atau perbankan.
4.
Kewenangan Dewan Pengawas masuk pada
teknis penanganan perkara, yaitu: memberikan atau tidak memberikan izin Penyadapan,
penggeledahan dan penyitaan. Bagaimana jika Dewan Pengawas tidak mengizinkan? Siapa
yang mengawasi Dewan Pengawas?
5.
Standar larangan Etik dan anti
konflik Kepentingan untuk Dewan Pengawas lebih Rendah dibanding Pimpinan dan
Pegawai KPK.
Pasal 36 tidak berlaku untuk Dewan Pengawas, sehingga:
1) Dewan Pengawas tidak dilarang
menjadi komisaris, direksi, organ yayasan hingga jabatan profesi lainnya;
2) Dewan Pengawas tidak dilarang
bertemu dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara yang
ditangani KPK
3) Sementara itu pihak yang diawasi
diwajibkan memiliki standar etik yang tinggi dengan sejumlah larangan dan
ancaman pidana di UU KPK
6.
Dewan Pengawas untuk pertama kali
dapat dipilih dari aparat penegak hukum yang sedang menjabat yang sudah
berpengalaman minimal 15 tahun.
Mahasiswa dari Universitas
Diponegoro (Undip) berjalan kaki sambil membawa membentangkan poster dan
spanduk saat berunjuk rasa menolak UU KPK hasil revisi dan RUU KUHP, di
Semarang, Jawa Tengah, Selasa (24/9/2019). Unjuk rasa yang diikuti ribuan
mahasiswa itu menuntut dilakukannya peninjauan kembali atas UU KPK hasil revisi
ke Mahkamah Konstitusi, dukungan terhadap KPK, dan menolak rencana pengesahan
RUU KUHP. ANTARA FOTO/R. Rekotomo/aww.(ANTARA FOTO/R REKOTOMO)
7.
Pimpinan KPK bukan lagi Penyidik dan Penuntut Umum sehingga akan beresiko pada
tindakan-tindakan pro justicia dalam pelaksanaan tugas Penindakan;
8.
Salah satu Pimpinan KPK pasca UU ini
disahkan terancam tidak bisa diangkat karena tidak cukup umur (kurang dari 50 tahun);
1) Terdapat ketidakcermatan pengaturan
untuk usia Pimpinan KPK minimal 50 tahun, padahal keterangan dalam kurung
tertulis “empat puluh” tahun (Pasal 29 huruf e);
2) Alasan UU tidak berlaku surut
terhadap 5 Pimpinan yang terpilih tidak relevan, karena Pasal 29 UU KPK
mengatur syarat-syarat untuk dapat diangkat.
3) Pengangkatan Pimpinan KPK dilakukan
oleh Presiden.
9.
Pemangkasan kewenangan Penyelidikan
Penyelidik tidak lagi dapat
mengajukan pelarangan terhadap seseorang ke Luar Negeri. Hal ini beresiko untuk
kejahatan korupsi lintas negara dan akan membuat para pelaku lebih mudah kabur
ke luar negeri saat Penyelidikan berjalan;
10.
Pemangkasan kewenangan Penyadapan
Penyadapan tidak lagi dapat
dilakukan di tahap Penuntutan dan jadi lebih sulit karena ada lapis birokrasi.
Jika UU ini diberlakukan, ada 6 tahapan yang harus dilalui terlebih dahulu,
yaitu:
1) Dari penyelidik yang menangani
perkara ke Kasatgas
2) Dari Kasatgas ke Direktur
Penyelidikan
3) Dari Direktur Penyelidikan ke Deputi
Bidang Penindakan
4) Dari Deputi Bidang Penindakan ke Pimpinan
5) Dari Pimpinan ke Dewan Pengawas
6) Perlu dilakukan gelar perkara
terlebih dahulu
11.
OTT menjadi lebih sulit dilakukan
karena lebih rumitnya pengajuan Penyadapan dan aturan lain yang ada di UU KPK;
12.
Terdapat Pasal yang beresiko
disalahartikan seolah-olah KPK tidak boleh melakukan OTT seperti saat ini lagi,
yaitu:
Pasal 6 huruf a yang menyebutkan, KPK
bertugas melakukan:
a. Tindakan-tindakan pencegahan sehingga tidak terjadi
tindak pidana korupsi
Hal ini sering kita dengar
diungkapkan oleh sejumlah politisi agar ketika KPK mengetahui ada pihak-pihak
yang akan menerima uang, maka sebaiknya KPK “mencegah” dan memberitahukan
pejabat tersebut agar tidak menerima suap.
13.
Ada resiko kriminalisasi terhadap
pegawai KPK terkait Penyadapan karena aturan yang tidak jelas di UU KPK
Terdapat ketentuan pemusnahan
seketika penyadapan yang tidak terkait perkara, namun tidak jelas indikator
terkait dan tidak terkait, ruang lingkup perkara dan juga siapa pihak yang
menentukan ketidakterkaitan tersebut; Ada ancaman pidana terhadap pihak yang melakukan Penyadapan
atau menyimpan hasil penyadapan tersebut; Ancaman pidana diatur namun tidak jelas rumusan pasal
pidananya.
14.
Ada risiko Penyidik PNS di KPK
berada dalam koordinasi dan pengawasan Penyidik Polri karena Pasal 38 ayat (2)
UU KPK dihapus;
Di satu sisi UU meletakkan KPK
sebagai lembaga yang melakukan koordinasi dan supervisi terhadap Polri dan
Kejaksaan dalam menangani kasus korupsi;
Namun di sisi lain, jika Pasal 38
ayat (2) UU KPK dihapus, ada resiko Penyidik PNS di KPK berada dalam koordinasi
dan pengawasan Polri;
15.
Berkurangnya kewenangan Penuntutan
Pada Pasal 12 (2) tidak disebut
kewenangan Penuntutan. Hanya disebut “dalam melaksanakan tugas Penyidikan”,
padahal sejumlah kewenangan terkait dengan perbuatan terhadap Terdakwa.
Norma yang diatur tidak jelas dan
saling bertentangan. Di satu sisi mengatakan hanya untuk melaksanakan tugas
Penyidikan, tapi di sisi lain ada kewenangan perlakuan tertentu terhadap
Terdakwa yang sebenarnya hanya akan terjadi di Penuntutan;
16.
Dalam pelaksanaan Penuntutan KPK
harus berkoordinasi dengan pihak terkait tapi tidak jelas siapa pihak terkait
yang dimaksud.
17.
Pegawai KPK rentan dikontrol dan
tidak independen dalam menjalankan tugasnya karena status ASN;
18.
Terdapat ketidakpastian status
pegawai KPK apakah menjadi Pegawai Negeri Sipil atau PPPK (pegawai kontrak) dan terdapat resiko dalam waktu
dua tahun bagi Penyelidik dan Penyidik KPK yang selama ini menjadi Pegawai
Tetap kemudian harus menjadi ASN tanpa kepastian mekanisme peralihan ke ASN;
19.
Jangka waktu SP3 selama 2 tahun akan
menyulitkan dalam penanganan perkara korupsi yang kompleks dan bersifat lintas
negara.
Dapat membuat KPK sulit menangani
kasus-kasus korupsi besar seperti: EKTP, BLBI, Kasus Mafia Migas, korupsi
pertambangan dan perkebunan, korupsi kehutanan dan kasus lain dengan kerugian
keuangan negara yang besar.
Dibandingkan dengan penegak hukum
lain yang mengacu pada KUHAP, tidak terdapat batasan waktu untuk SP3, padahal
KPK menangani korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa, bukan tindak pidana
umum.
20.
Diubahnya Pasal 46 ayat (2) UU KPK
yang selama ini menjadi dasar pengaturan secara khusus tentang tidak berlakunya
ketentuan tentang prosedur khusus yang selama ini menyulitkan penegak hukum
dalam memproses pejabat negara, seperti: Perlunya izin untuk memeriksa pejabat
tertentu.
Pasal 46 UU KPK yang baru terkesan menghilangkan
sifat kekhususan (lex specialis) UU KPK, padahal korupsi adalah kejahatan luar
biasa yang harusnya dihadapi dengan cara-cara dan kewenangan yang luar biasa;
21.
Terdapat pertentangan sejumlah
norma, seperti: Pasal 69D yang mengatakan sebelum Dewan Pengawas dibentuk,
pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK dilaksanakan berdasarkan ketentuan sebelum
UU ini diubah.
Sementara di Pasal II diatur UU ini berlaku pada tanggal diundangkan.
22.
Hilangnya posisi Penasehat KPK tanpa
kejelasan dan aturan peralihan, apakah Penasehat menjadi Dewan Pengawas atau
Penasehat langsung berhenti saat UU ini diundangkan;
23.
Hilangnya Kewenangan Penanganan
Kasus Yang Meresahkan Publik (pasal 11)
Sesuai dengan putusan MK nomor
012-016-019/PUU-IV/2006, kewenangan ini adalah wujud peran KPK sebagai trigger
mechanism bagi aparat penegak hukum lain, untuk dalam keadaan tertentu KPK
dapat mengambil alih tugas dan wewenang serta melakukan tindakan yang
diperlukan dalam penanganan perkara korupsi oleh kepolisian atau kejaksaan yang
proses pemeriksaan yang tidak kunjung selesai, tidak memberikan kepastian hukum
yang meresahkan masyarakat.
24.
KPK hanya berkedudukan di Ibukota
negara
KPK tidak lagi memiliki harapan
untuk diperkuat dan memiliki perwakilan daerah. Dengan sumber daya yang
tersedia saat ini dan wilayah kerja seluruh Indonesia KPK dipastikan akan tetap
kewalahan menangani kasus korupsi di seantero negeri.
25.
Tidak ada penguatan dari aspek
Pencegahan
Keluhan selama ini tidak adanya
sanksi tegas terhadap Penyelenggara Negara yang tidak melaporkan LHKPN tetap
tidak diatur;
Kendala Pencegahan selama ini ketika
rekomendasi KPK tidak ditindaklanjuti juga tidak terjawab dengan revisi ini.
Seharusnya ada kewajiban dan sanksi jika memang ada niatan serius memperkuat
Kerja Pencegahan KPK;
26.
Kewenangan KPK melakukan Supervisi
dikurangi, yaitu: pasal yang mengatur kewenangan KPK untuk melakukan
pengawasan, penelitian, atau penelahaan terhadap instansi yang menjalankan
tugas dan wewenang terhadap instansi yang melakukan pelayanan publik tidak ada
lagi.
Seperti itu lah isi
Revisi UU KPK yang Kontroversi, bagaimana menurut pembaca, silahkan tulis
masukan anda di kolom komentar.
EmoticonEmoticon