Revisi
Undang-undang (UU) Tenaga kerja yang di gagas oleh pemerintah, ditolak
semua serikat buruh, karena para buruh mengangap revisi tersebut sangat merugikan pekerja.
Para buruh
mulai was-was dengan rencana Revisi Undang-udang Ketenagakerjaan yang di gagas
oleh pemerintah Joko Widodo Pasalnya, revisi Undang-Undang
Ketenagakerjaan (UUK) yang kerap ditolak kalangan buruh kini kembali di bahas. Pemerintah menganggap peraturan itu sudah usang dan perlu diperbarui demi pasar tenaga kerja
yang lebih kompetitif.
Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri menyampaikan relasi
perekonomian dunia kini menginginkan pasar tenaga kerja yang lebih fleksibel.
Ia bahkan menyebut aturan ketenagakerjaan saat ini bak 'kanebo kering' yang tak hanya memberatkan dunia usaha,
melainkan juga tak baik bagi iklim tenaga kerja di Indonesia.
Bagi serikat buruh, pernyataan sang menteri itu perlu
dikecam atau, kalau bisa, dirisak beramai-ramai. Soalnya, kata Ketua
Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) Ilham Syah, semua yang disampaikan
Hanif bertolak belakang dengan apa yang selalu digembar-gemborkan Jokowi dan
partai pengusungnya, PDI Perjuangan.
Jokowi, kata Ilham, berkali-kali menyebut bahwa semangat
yang diwariskan Bung Karno harus diwariskan dan diterjemahkan dalam konteks
perubahan zaman. Namun, dalam hal ketenagakerjaan, yang terjadi justru
sebaliknya: rezim upah murah dan aturan ketenagakerjaan yang lebih fleksibel.
“Yang dikerjakan oleh Jokowi dan ditambahkan oleh statement-nya
Hanif ini bukan konsepsi Bung Karno. Justru kita didikte oleh investor untuk
memfasilitasi eksploitasi di sektor sumber daya manusia,” kata Ilham kepada
reporter Tirto, Selasa (13/8/2019).
Lantaran itu, kata Ilham, resistensi terhadap rencana revisi
UU Nomor 13/2003 selalu mengemuka. Adapun sejumlah poin yang dianggap
memberatkan, jika UU itu jadi direvisi, adalah ketentuan pemberian pesangon,
upah minimum, hingga Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau sistem kontrak
yang semuanya diusulkan kalangan pengusaha.
Dalam hal ketentuan pesangon, misalnya, kalangan buruh
menolak keras usulan perubahan atas masa kerja minimal yang lebih panjang,
yakni 9 tahun. Sebab, jika hal tersebut diakomodasi dalam UU, maka gelombang
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akan terjadi di mana-mana.
Usulan pengusaha untuk merevisi batas waktu kenaikan upah
minimum jadi dua tahun sekali juga dianggap merugikan. Alasannya, tiap tahun
kebutuhan buruh terus berubah lantaran inflasi kebutuhan pokok meningkat cukup
cepat.
Di samping itu, usulan pengusaha untuk merevisi ketentuan
kontrak kerja dari 3 tahun menjadi 5 tahun juga ditentang karena tak memberikan
kepastian bagi kalangan buruh. Apalagi pengusaha juga menginginkan adanya
perubahan sistem outsourcing dari yang sebelumnya hanya untuk pekerja
dasar ke beberapa jenis posisi pekerjaan yang lebih luas.
"Tidak ada kepastian untuk jenjang karier, dan PHK
sepihak akan dengan mudah dilakukan para pengusaha tanpa ada kompensasi atau
pesangon bagi para buruh,” kata Ilham menambahkan.
Meski resistensi dari serikat buruh dan pekerja masih cukup
kuat, tapi Hanif nampaknya tak mau ambil pusing. Ia bahkan sudah mengusulkan
agar pesangon buruh diganti dengan jaminan sosial untuk para korban PHK yang
dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan.
Hal tersebut tak lain bertujuan untuk memberikan kepastian
bagi para buruh di tengah kondisi pasar tenaga kerja yang makin fleksibel.
“Tidak berarti kalau kita menerima fleksibilitas pasar, pemerintah
tidak melindungi warga negaranya. Saya sebagai pemerintah enggak bisa jamin
Anda bekerja dengan satu entitas bisnis tertentu terus menerus sampai Anda
mati,” kata politikus PKB ini, pekan lalu (9/8/2019).
Problem ketenagakerjaan di Indonesia, kata Hanif, memang
pelik dan membuat pemerintah gamang. Di atas kertas, statistik pengangguran
yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) boleh saja menunjukkan angka yang
menggembirakan.
Februari 2019, misalnya, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)
turun ke angka 5,01 persen dari 5,33 persen pada periode yang sama tahun 2017.
Jumlah pengangguran pun berkurang sebanyak 190 ribu orang dari 7,01 juta
menjadi 6,82 juta orang dalam dua tahun belakangan.
Namun, angka tersebut tidak memperlihatkan perbaikan yang
signifikan. Soalnya, tingkat pengangguran yang disebabkan oleh mismatch
atau ketidakcocokan kualifikasi pendidikan dengan kebutuhan pasar tenaga kerja
juga masih cukup besar.
Hanif mengasumsikan, hanya 2 dari 10 orang angkatan kerja di
Indonesia yang terserap sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Hal ini
terlihat dari peningkatan persentase penganggur muda yang berpendidikan SMA ke
atas dari 60 persen (2014) menjadi 74 Persen (2018).
Penganggur muda dengan pendidikan SMK meningkat dari sekitar
23 persen (2014) menjadi 33 persen (2018), serta diploma dan sarjana dari 4,4
persen (2014) menjadi 10 persen (2018).
"Kalau diasumsikan 10 orang, berarti 6 orang ini gugur
di pasar tenaga kerja. Karena hanya lulusan SD/SMP. Sisa 4. Kita punya problem
lain namanya mismatch. Dari angka 4 ini lulusan SMA/SMK, D1/D2/D3 sampai
S1, ini mismatch 50 persen. Berarti sisa 2 orang," ujar Hanif di
Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Kamis (9/8/2019).
Untuk mengatasi problem itu, pemerintah sebenarnya sudah
mulai jor-joran memberikan insentif bagi dunia usaha. Lewat PP Nomor 25 tahun
2019 misalnya, pengusaha dimungkinkan mendapatkan potongan Pajak Penghasilan
(PPh) hingga 200 persen jika membuka sekolah vokasi atau praktik pemagangan
yang dapat langsung menyerap tenaga kerja.
Akan tetapi, hal ini tetap dianggap tak cukup. Dorongan
lebih besar dibutuhkan agar pengusaha dapat menekan ongkos produksi dan bisa
terus berekspansi. Tujuannya, supaya tenaga kerja yang belum terserap dunia
usaha itu bisa tetap bekerja dengan adanya pembukaan lapangan-lapangan kerja
baru.
Pembatasan sistem kontrak hingga besaran pesangon dan upah
tenaga kerja yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 pun
dianggap perlu direvisi.
“Saya personally enggak suka [revisi]. Tapi flexibilty
labour market di waktu-waktu sekarang ini jadi hal yang tidak bisa
dielakkan. Anda, kan, kalau kerja, kan, butuh sekuriti. Tapi omong soal
kepastian tenaga kerja hari ini enggak bisa,” kata Hanif.
Setali tiga uang, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia
(Apindo) Hariyadi Sukamdani, menyampaikan bahwa kalangan pengusaha memang
mengusulkan draf perubahan Undang-Undang Ketenagakerjaan yang baru kepada
pemerintah.
Tak hanya Apindo, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) juga
melakukan hal serupa dengan memasukkan poin-poin yang dinilai menghambat
ekspansi bisnis serta penciptaan lapangan kerja yang lebih luas.
"Kalau ada pihak yang punya kepentingan menentang, kami
mengimbau lihat dulu faktanya yang terjadi,” kata Hariyadi dalam kesempatan
yang sama.
Ketua
Departemen Komunikasi dan Media, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia atau
KSPI, Kahar S. Cahyono, menuding pengusaha sengaja membuat alasan pesangon
tinggi sebagai penyebabnya sulitnya iklim investasi di Indonesia. Menurut dia,
alasan ini hanya strategi demi memuluskan Rencana Revisi Undang-Undang
Ketenagakerjaan.
“Di mana,
salah satu usulannya adalah mengurangi nilai pesangon,” kata Kahar saat
dihubungi di Jakarta, Ahad, 8 September 2019.
EmoticonEmoticon